Namaku Abulladi. Aku dilahirkan di sebuah kampung kecil dari sebuah desa di Kota Pamekasan, tepatnya di Kampung Kosaba (Sawahan) Desa Pademawu Timur Kec. Pademawu Kabupaten Pamekasan Madura. Masa kecil, aku habiskan di kampung itu sampai aku menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pademawu Timur dan melanjutkan ke SMP Negeri 1 Pamekasan. Ketika aku duduk di kelas 2 SMP, aku masuk ke pesantren "Nurul Hidayah" Sumber Manis di kota yang sama sambil sekolah di PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) sampai tamat.
Singkat ceritera, setamat dari PGA tahun 1984, aku masih mukim di pesantren, tiba-tiba anak Kyai (Lora Atiq, panggilan kehormatan untuk anak Kyai di Madura) mengajakku dan beberapa teman pesantren lainnya yang kebetulan lulus tahun yang sama untuk melanjutkan pendidikan (kuliah) di Jakarta. Mereka adalah Lora Amin Said Husni (anak Pak Kyai, adik Lora Atiq), Abdul Hannan (beberapa bulan kemudian balik kampung karena tidak betah), M. Badri (panggilannya Andri), Rahbini. Tentu saja dengan senang hati aku dan teman-teman mendengar ajakan itu tanpa pikir-pikir lagi. Jangankan hidup di Jakarta, melihat kota Jakarta aja tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebagai orang kampung mendengar kata Jakarta yang terbayang adalah sebuah kota tempatnya orang-orang hebat, orang-orang kaya, dan orang-orang pintar, bintang film, dan sebutan-sebutan yang enak-enak lainnya.
Kami akhirnya berlima hijrah ke Jakarta. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kami bisa mengenal Kota Jakarta yang sesungguhnya. Semua bayangan selama ini tentang Jakarta sebagian sirna laksana fatamorgana. Kami hidup bareng dalam suka dan duka. Berkat bantuan Kakak angkat, Kak Sonhaji (H. Faqih) dan keluarganya, kami bisa melalui masa-masa sulit sampai bisa mandiri seperti sekarang. Kami senantiasa berdoa mudah-mudah Allah senantiasa memberikan keberkahan kepada Kah Sonhaji dan kepada istrinya yang telah meninggal lebih dulu Allah mengampuni dosa-dosanya. Allahumma ighfirlahaa, amin ya Rabbal 'alamin.
Karena kondisi yang memaksa waktu itu, kami masing-masing sempat menghilang dalam waktu yang cukup lama mengurusi nasib masing-masing. Di sinilah nasibku dipertemukan dengan Lora Ainul Yakin Karim yang belakangan ternyata beliau putra guru ngaji ibuku di kampung. Beliau salah seorang guru di Pesantren Putra-Putri Assyafi'iyah. Dengan modal Ijazah PGA, aku mulai bekerja di pesantren Assyafi'iyah sampai sekarang. Dari semula menjabat bagian kebersihan dan cuci piring sampai menjabat wakil kepala sekolah saat ini.
Nasib manusia memang hak prerogatif Allah, bukan guru, bukan orang tua, bukan ilmu yang dikuasai, bukan harta yang dimiliki. Allah Yang Mahatahu. Setelah sekian lama masing-masing menghilang, Allah mempertemukan kami kembali dengan membawa nasib masing-masing. Lora Amin Said Husni menjadi Bupati Bondowoso sebelumnya anggota DPR Pusat, M. Badri (Andri Yahya) menjadi wartawan Istana, Rahbini menjadi juragan besi tua yang sukses, dan saya sendiri masih konsisten di dunia pendidikan di samping usaha bisnis kaligrafi dan percetakan.
Inilah sekilas kisah perjalananku dari awal sampai sekarang menjelang akhir 2011 ini. Semoga menjadi inspirasi dan hikmah bagiku khususnya dan pembaca web pribadiku ini umumnya.
Singkat ceritera, setamat dari PGA tahun 1984, aku masih mukim di pesantren, tiba-tiba anak Kyai (Lora Atiq, panggilan kehormatan untuk anak Kyai di Madura) mengajakku dan beberapa teman pesantren lainnya yang kebetulan lulus tahun yang sama untuk melanjutkan pendidikan (kuliah) di Jakarta. Mereka adalah Lora Amin Said Husni (anak Pak Kyai, adik Lora Atiq), Abdul Hannan (beberapa bulan kemudian balik kampung karena tidak betah), M. Badri (panggilannya Andri), Rahbini. Tentu saja dengan senang hati aku dan teman-teman mendengar ajakan itu tanpa pikir-pikir lagi. Jangankan hidup di Jakarta, melihat kota Jakarta aja tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebagai orang kampung mendengar kata Jakarta yang terbayang adalah sebuah kota tempatnya orang-orang hebat, orang-orang kaya, dan orang-orang pintar, bintang film, dan sebutan-sebutan yang enak-enak lainnya.
Kami akhirnya berlima hijrah ke Jakarta. Tidak membutuhkan waktu yang lama, kami bisa mengenal Kota Jakarta yang sesungguhnya. Semua bayangan selama ini tentang Jakarta sebagian sirna laksana fatamorgana. Kami hidup bareng dalam suka dan duka. Berkat bantuan Kakak angkat, Kak Sonhaji (H. Faqih) dan keluarganya, kami bisa melalui masa-masa sulit sampai bisa mandiri seperti sekarang. Kami senantiasa berdoa mudah-mudah Allah senantiasa memberikan keberkahan kepada Kah Sonhaji dan kepada istrinya yang telah meninggal lebih dulu Allah mengampuni dosa-dosanya. Allahumma ighfirlahaa, amin ya Rabbal 'alamin.
Karena kondisi yang memaksa waktu itu, kami masing-masing sempat menghilang dalam waktu yang cukup lama mengurusi nasib masing-masing. Di sinilah nasibku dipertemukan dengan Lora Ainul Yakin Karim yang belakangan ternyata beliau putra guru ngaji ibuku di kampung. Beliau salah seorang guru di Pesantren Putra-Putri Assyafi'iyah. Dengan modal Ijazah PGA, aku mulai bekerja di pesantren Assyafi'iyah sampai sekarang. Dari semula menjabat bagian kebersihan dan cuci piring sampai menjabat wakil kepala sekolah saat ini.
Nasib manusia memang hak prerogatif Allah, bukan guru, bukan orang tua, bukan ilmu yang dikuasai, bukan harta yang dimiliki. Allah Yang Mahatahu. Setelah sekian lama masing-masing menghilang, Allah mempertemukan kami kembali dengan membawa nasib masing-masing. Lora Amin Said Husni menjadi Bupati Bondowoso sebelumnya anggota DPR Pusat, M. Badri (Andri Yahya) menjadi wartawan Istana, Rahbini menjadi juragan besi tua yang sukses, dan saya sendiri masih konsisten di dunia pendidikan di samping usaha bisnis kaligrafi dan percetakan.
Inilah sekilas kisah perjalananku dari awal sampai sekarang menjelang akhir 2011 ini. Semoga menjadi inspirasi dan hikmah bagiku khususnya dan pembaca web pribadiku ini umumnya.
